BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat rentan dengan kondisi apapun. Apalagi, situasi ini terkadang diperparah dengan terpuruknya kondisi ekonomi, sosial dan pendidikan. Himpitan kehidupan ini kemudian menimbulkan masyarakat untuk mencari jalan keluar dengan melakukan segala daya upaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dalam pemenuhan itu, kadang kala mereka tidak memikirkan dampak dari apa yang mereka kerjakan. Yang penting bagi mereka, hidup harus terus berjalan.
Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan situasi psikologis inilah menjadi salah satu penyebab yang tidak disadari sebagai peluang munculnya human trafficking atau perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal dari pihak-pihak terkait.
Perdagangan manusia bukan hal yang sepele. Bagai gunung es, dibawahnya begitu kokoh bak tidak tertembus. Pada tahun 2007 Indonesia mendapat peringkat ke-3 dari USA sebagi negara yang paling bermasalah dengan perdagangan manusia (human trafficking). Indonesia masi menjadi tempat transit, tujuan dan asal dari perdagangan manusia. Sebanyak 40.000 hingga 90.000 anak-anak Indonesia menjadi korban eksploitasi kekerasan seksual. Sedangkan negara tujuan penjualan manusia Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Hongkongdan Negara Timur Tengah.

1. 2  Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah human trafficking di Indonesia?
2. Bagaimanakah human trafficking dan perbudakan menurut pandangan Islam?

1. 3  Manfaat
1. Dapat lebih memahami human trafficking dan perbudakan dari segi hukum dan
    agama.
2. Dapat terpenuhinya tugas dari mata kuliah Agama Islam.











BAB II
DEFINISI PERDAGANGAN MANUSIA

1.    Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) pada pasal 1, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2.    Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).






















BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Human Trafficking di Indonesia
            Perdagangan orang (human trafficking), khususnya perempuan dan anak, merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak (komponen bangsa), disamping terkait dengan pencitraan bangsa Indonesia di mata dunia international, yang menurut data Dapartemen Luar Negeri Amarika Serikat, Indonesia adalah pemasok nomor tiga perdagangan perempuan dan anak di dunia. Juga berkenaan dengan kondisi korban human trafficking tersebut tidak mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga mereka sangat rentan terhadap tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, dan sebagainya.
      Berdasarkan data yang dikeluarkan Pusat Informasi dan Komunikasi Departemen Hukum dan HAM RI tindakan pidana trafficking tercatat korban terbanyak didominasi kaum perempuan yaitu sebanyak 89,7 persen. Sedangkan data berdasarkan umur, korban trafficking dewasa sebanyak 74,77 persen, anak-anak 25 persen dan balita sebanyak 0,15 persen. Dalam hal perdagangan anak yang dimaksud adalah setiap orang yang umurnya kurang dari 18 tahun.
Perdagangan manusia adalah segala transaksi jual beli terhadap manusia.
Menurut Protokol Palermo pada ayat tiga definisi aktivitas transaksi meliputi:
  • perekrutan
  • pengiriman
  • pemindah-tanganan
  • penampungan atau penerimaan orang
yang dilakukan dengan ancaman, atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainya, seperti:
  • penculikan
  • muslihat atau tipu daya
  • penyalahgunaan kekuasaan
  • penyalahgunaan posisi rawan
  • menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lainnya untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya; pelacuran (eksploitasi prostitusi) orang lain atau lainnya seperti kerja atau layanan paksa, pebudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Perdagangan orang (human trafficking), khususnya perempuan dan anak, merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian semua pihak (komponen bangsa), disamping terkait dengan pencitraan bangsa Indonesia di mata dunia international, yang menurut data Dapartemen Luar Negeri Amarika Serikat, Indonesia adalah pemasok nomor tiga perdagangan perempuan dan anak di dunia. Juga berkenaan dengan kondisi korban human trafficking tersebut tidak mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga mereka sangat rentan terhadap tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, dan sebagainya.
      Data dari kementrian Pemberdayaan Perempuan (Desember 2004), berkaitan dengan kasus pelecehan, penipuan, pemerkosaan dan kekerasan lainnya, di mana 1.079 TKI perempuan yang melarikan diri dari Singapura/melapor ke KBRI, 235 ksus bermasalah dari Arab Saudi, dan 219 kasus TKI yang dipulangkan karena tidak sesuai dengan prosudur yang berlaku dari Kuwait, Kuala Lumpur, Brunai, Jordania dan Kolumbia. Sementara itu data dari pemerintahan Malaysia menyebutkan, bahwa pada tahun 2001 sebanyak 4.268 perempuan dan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks di wilayah Malaysia dan perbatasan Singapura (Kompas 10 Mei 2001), dan pada akhir tahun 2004, jumlahnya membengkak mencapai angka 30.000 orang (Fajar, 3 Desember 2004). Ini baru dari negeri jiran (tetangga) kita Malaysia, belum termasuk di
negara lain.
            Tidak dapat disangkal, mereka yang dipekerjakan sebagai pekerja seks tersebut, serta pekerjaan lain, adalah korban dari human trafficking, dengan berbagai modus operandinya. Dari data yang ada, rata-rata yang menjadi korban human trafficking adalah mereka yang ada di bawah garis kemiskinan, kemudian diiming-imingi dengan pekerjaan dan gaji yang besar, atau karena anak tersebut telah menjadi “agunan” orang tuanya untuk mendapatkan pinjaman atau “uang muka/jaminan” dari pihak-pihak yang memang terlibat dalam sindikat perdagangan orang.
            Kasus semacam ini sudah menjadi rahasia umum, karena hampir terjadi diseluruh pelosok tanah air, namun susah terbongkar, karena orang tua korban takut melapor kepada pihak yang berwajib, pada hal dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (banyak yang buta huruf), sudah dapat diterka bahwa pekerjaan yang mungkin mereka lakoni adalah menjadi budak seks, pembantu rumah tangga, bekerja di bar, restoran, pekerja perkebunan, bahkan tidak jarang dijadikan kurir pengedar narkotik. Dan ironisnya, mereka tidak memiliki posisi tawar untuk membela diri.
            Meski secara difinisi human trafficking masih perlu kajian dan pemaknan yang lebih luas dan jelas, seperti yang dikemukakan oleh anggota Pansus Undang-undang Penanggulangan Tindak Perdagangan Orang beberapa hari yang lalu melalaui siaran Televisi, sehingga tidak hanya bermakna bahwa kasus human trafficking, terjadi seperti kasus yang disebutkan di atas, tetapi mungkin juga dapat mencakup tindakan pengiriman Tenaga Kerja yang tidak didukung oleh pemberian keterampilan kerja yang memadai, pengetahuan yang cukup tentang hak-hak mereka sebagai TKI, serta sistem perlindungan pada hak-hak tenaga kerja yang baik.
            Disamping itu, kelahiran Undang-Undang tersebut (diharapkan rampung awal 2007), diharapkan dapat diikuti oleh sikap tegas dan langkah yang konkrit dari pemerintah untuk memberantas tindakan yang dikategorikan human trafficking. Sikap tegas dan langkah konkrit menjadi hal yang perlu digasibawahi, karena sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan yang telah lahir, berkaitan dengan perlindungan dan jaminan hak bagi para pekerja, buruh, anak dan perempuan, tetapi berbagai tindakan yang mengarah pada tindak kekerasan, penipuan, pelecehan, pemerkosaan, gaji yang tidak dibayar, penetapan gaji dibawah upah minimun, pemerasan, tidak adanya jaminan sosial dan perlindungan asuransi dst., masih menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh tenaga kerja kita, dan yang perlu digarisbawahi, bahwa hal ini bukan hanya dialami oleh mereka yang mengadu nasib dan bekerja atau dipekerjakan di luar negeri, tetapi juga banyak terjadi di sekitar kita.
               Belum lama ini pemerintah berhasil menerbitkan UU No.21/2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Bertujuan untuk melindungi calon tenaga kerja, yang sering menjadi korban perdagangan orang, di antara mereka ada yang dijual, terutama perempuan untuk dijadikan sebagai penghibur laki-laki hidung belang, dan adapula sebagian anak-anak yang kadang-kadang dijual organnya dan sebagainya. Sebenarnya pemerintah Indonesia pernah meratifikasi CEDAW (Convention of All Forms of Discrimination Against Women) melalui UU No.7 Th 1984.
Pasal 6 dari konvensi tersebut merekomendasi agar menerbitkan UU pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Pelacuran. Namun baru tahun 2007 dapat diterbitkan. Perdagangan perempuan dan anak-anak di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menurut berita yang dapat dipercaya dua juta lebih tenaga kerja perempuan illegal sedang berada di negeri jiran, kurang lebih 900 bayi telah dijual ke beberapa negara. Pada tahun 2004 telah diterbitkan pula UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

3.2  Human Trafficking dan perbudakan menurut pandangan Islam
        Para korban yang awalnya ingin memperbaiki kehidupan perekonomian mereka, namun dalam kenyataanya mereka hanya dijadikan budak. Perbudakan manusia terhadap manusia telah berjalan berabad-abad lamanya. Tetapi, para ahli sejarah tidak dapat menentukan kapan permulaan perbudakan itu dimulai. Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa perbudakan itu dimulai bersamaan dengan perkembangan manusia, karena sebagian manusia memerlukan bantuan tenaga dari sebagian manusia lainnya. Karena sebagian manusia merasa mempunyai kekuatan, maka lahirlah keinginan menguasai orang lain dan terjadilah perbudakan manusia atas manusia dan perdagangan manusia (traficking).
          Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, mengajarkan adanya persamaan antara sesama manusia. Tiada bangsa yang lebih mulia dari bangsa lainnya, tiada suku yang lebih mulia dari suku lainnya. Bahkan, tiada orang yang lebih mulia dari orang lain kecuali hanya takwanya kepada Allah Swt. Karena itulah Islam berusaha untuk membebaskan manusia dari perbudakan di bumi ini, sebab perbudakan itu melahirkan kesengsaraan bagi para dhu’afa (orang-orang lemah atau para kaum miskin).
           Di bawah ini dikutipkan beberapa ayat yang ada hubungannya dengan persamaan manusia, perbudakan dan pembebasannya:
Artinya:
  1. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat [49]: 13).
  2. Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (Al-Balad [90]: 11-13).
  3. .....dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin....(An-Nisa’ [4]: 92).
  • Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat melanggar sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak......(Al-Maidah [5]: 89)

Tafsir Mufradat  
           Raqabah: berasal dari kosakata : raqaba – yarqubu – raqaabah, yang berarti mengintip, melihat, menjaga. Raqabah, berarti budak, hamba sahaya, yaitu orang yang dimiliki oleh orang lain yang lebih mampu (tuan atau majikan), yang harus bekerja untuk majikannya dan dapat diperjual belikan.
            Perbudakan adalah sistem segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia yang lain. Budak atau hamba sahaya disebut ”raqabah” karena selalu diintai dan dijaga agar bekerja dengan keras dan tidak lari. Dalam Al-Qur’an kata ”raqabah” dengan berbagai bentuknya diulang sebanyak 24 kali yang tersebar diberbagai surat/ayat. 

Tafsir ayat 
             Pada ayat pertama (Al-Hujurat [49]: 13) dijelaskan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah sama tidak ada yang lebih mulia atau lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah Swt, dan yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah Swt. Bukan orang yang lebih kaya, bukan orang yang lebih besar atau lebih tinggi rumahnya, bukan pula yang lebih terpandang nasabnya atau keturunannya.
              Berdasarkan ayat inilah, Abu Hatim tidak menyaratkan hurriyah (kemerdekaan) dalam pernikahan, syaratnya hanya satu, yaitu ad-din (agama) (Al Qasimi, 15:137). Dalam suatu Hadits ditegaskan sebagai berikut:
” Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupamu dan hartamu, melainkan melihat kepada hati dan amal perbuatanmu” (Ditakhrijkan oleh Muslim, Hadits No.34).
            Karena itulah Allah melarang segala macam perbudakan dan memerintahkan membebaskan manusia dari segala macam perbudakan sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: ”Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) membebaskan budak dari perbudakan”. (Al-Balad [90]: 11-13).
             Pembebasan manusia dari perbudakan telah dirintis sejak permulaan masa Rasulullah Saw pembebasan manusia dari perbudakan bukanlah pekerjaan yang ringan, karena itulah pada ayat tersebut di atas, disebut ”al-Aqabah” (mendaki dan sukar). Sebab tantangannya sangat berat. Dengan perjuangan yang sangat gigih, para sahabat berhasil membebaskan beberapa budak, antara lain:
Bilal bin Rabah, budak Umayyah bin Khalaf, dibebaskan oleh Abu Bakar dengan dibeli seharga 100 unta. Abu Bakar telah membebaskan pula sejumlah budak lainnya, seperti: Hamamah Ibn Bilal, ’Amir bin Fuheir, Abu Fakihah, budak abu shofwan, Zunairah, Ummu ’Unais, budak Bani Zahrah, ’Ammar bin Yasir, bapaknya, ibunya, dan saudaranya. Khabab bin Arat, dibebaskan oleh Ummu Ammar. (Al-Khudari, Nurul Yakin, 1952: 45-51).
               Para ulama berpendapat, sebenarnya Islamlah yang merintis pembebasan manusia dari segala macam perbudakan. Pembebasan manusia pada masa Rasulullah dilakukan dengan berbagai cara:
Dengan cara dibeli lalu dimerdekakan, dengan bayar diyat (denda) karena membunuh orang Mukmin dengan tidak sengaja, atau karena melanggar sumpah dan sebagainya, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa [4]: 92 dan Al-Maidah [5]: 89 dan beberapa surat lainnya.
               Juga dengan cara dijanjikan akan diberi pahala yang sangat besar di akhirat nanti seperti disebutkan dalam Hadits-hadits Nabi Saw:
”Dan Abi Hurairah, ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: siap saja laki-laki Muslim yang membebaskan seorang laki-laki Muslim (dari perbudakan) niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota orang itu dari api neraka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).
            Pembebasan tersebut juga dapat dilakukan dengan cara diangsur, perbulan atau perminggu hingga lunas. Kemudian perjuangan pembebasan manusia dari perbudakan tersebut diteruskan oleh Al-Khulafa ar-Rasyidin, para sahabat sesudah mereka dan para ulama, hingga sekarang.
              Namun, perbudakan hingga sekarang belum dapat diberantas dengan tuntas, bahkan semakin sulit diberantas, karena akhir-akhir ini manusia semakin bertambah yang berarti menambah jumlah pengangguran, dan perdagangan orang pun semakin semarak. Hampir setiap negara berusaha mengatasinya, tetapi belum juga menampakkan h



BAB IV
KESIMPULAN

- Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan situasi psikologis inilah menjadi salah satu penyebab yang tidak disadari sebagai peluang munculnya human trafficking atau perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal dari pihak-pihak terkait.
- Perbudakan adalah sistem segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia yang lain. Allah melarang segala macam perbudakan dan memerintahkan membebaskan manusia dari segala macam perbudakan.












;;

By :
Free Blog Templates